Rabu, 06 Juli 2011

PESIKOLOGI PENDIDIKAN DAN PERILAKU INDIVIDU




BAB I PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN PERILAKU INDIVIDU




Setelah mempelajari Bab ini, diharapkan Anda dapat :
  1. Mendefinisikan psikologi dan psikologi pendidikan
  2. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan individu, indikator-indikator motivasi, bentuk-bentuk konflik, bentuk-bentuk perilaku salah-suai dan taksonomi perilaku individu.
  3. Menjelaskan psikologi pendidikan sebagai ilmu, arti penting psikologi pendidikan bagi guru, peranan dan pengaruh pendidikan terhadap perubahan dan perkembangan perilaku individu.
  4. Menguraikan mekanisme pembentukan perilaku menurut pandangan behaviorisme dan holistik.

  1. Pokok Bahasan
    1. Pengertian Psikologi Pendidikan.
    2. Perilaku Individu.
    3. Taksonomi Perilaku Individu.
    4. Pengaruh Pendidikan terhadap Perubahan Perilaku dan Pribadi Individu.
  1. Intisari Bacaan

Pengertian Psikologi Pendidikan

Secara etimologis, psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan “logos” atau ilmu. Dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara langsung.
Berkenaan dengan obyek psikologi ini, maka yang paling mungkin untuk diamati dan dikaji adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Psikologi terbagi ke dalam dua bagian yaitu psikologi umum (general phsychology) yang mengkaji perilaku pada umumnya dan psikologi khusus yang mengkaji perilaku individu dalam situasi khusus, diantaranya :
  • Psikologi Perkembangan; mengkaji perilaku individu yang berada dalam proses perkembangan mulai dari masa konsepsi sampai dengan akhir hayat.
  • Psikologi Kepribadian; mengkaji perilaku individu khusus dilihat dari aspek – aspek kepribadiannya.
  • Psikologi Klinis; mengkaji perilaku individu untuk keperluan penyembuhan (klinis)
  • Psikologi Abnormal; mengkaji perilaku individu yang tergolong abnormal.
  • Psikologi Industri; mengkaji perilaku individu dalam kaitannya dengan dunia industri.
  • Psikologi Pendidikan; mengkaji perilaku individu dalam situasi pendidikan
Disamping jenis – jenis psikologi yang disebutkan di atas, masih terdapat berbagai jenis psikologi lainnya, bahkan sangat mungkin ke depannya akan semakin terus berkembang, sejalan dengan perkembangan kehidupan yang semakin dinamis dan kompleks.
Psikologi pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena didalamnya telah memiliki kriteria persyaratan suatu ilmu, yakni :
  • Ontologis; obyek dari psikologi pendidikan adalah perilaku-perilaku individu yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan pendidikan, seperti peserta didik, pendidik, administrator, orang tua peserta didik dan masyarakat pendidikan.
  • Epistemologis; teori-teori, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan dalil – dalil psikologi pendidikan dihasilkan berdasarkan upaya sistematis melalui berbagai studi longitudinal maupun studi cross sectional, baik secara pendekatan kualitatif maupun pendekatan kuantitatif.
  • Aksiologis; manfaat dari psikologi pendidikan terutama sekali berkenaan dengan pencapaian efisiensi dan efektivitas proses pendidikan.
Dengan demikian, psikologi pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu cabang psikologi yang secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks situasi pendidikan dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi dan teori-teori psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui metode ilmiah tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan.
Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari psikologi. Sumbangsih psikologi terhadap pendidikan sangatlah besar. Kegiatan pendidikan, khususnya pada pendidikan formal, seperti pengembangan kurikulum, Proses Belajar Mengajar, sistem evaluasi, dan layanan Bimbingan dan Konseling merupakan beberapa kegiatan utama dalam pendidikan yang di dalamnya membutuhkan psikologi.
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang di dalamnya melibatkan banyak orang, diantaranya peserta didik, pendidik, adminsitrator, masyarakat dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat memahami tentang perilaku individu sekaligus dapat menunjukkan perilakunya secara efektif.
Guru dalam menjalankan perannya sebagai pembimbing, pendidik dan pelatih bagi para peserta didiknya, tentunya dituntut memahami tentang berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang yang terkait dengan tugasnya,--terutama perilaku peserta didik dengan segala aspeknya--, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya secara efektif, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.
Di sinilah arti penting Psikologi Pendidikan, dengan memahami psikologi pendidikan, seorang guru melalui pertimbangan-pertimbangan psikologisnya diharapkan dapat : (a) merumuskan tujuan pembelajaran, (b) memilih strategi atau metode pembelajaran, (c) memilih alat bantu dan media pembelajaran yang tepat, (d) memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling kepada peserta didiknya, (e) memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik, (f) menciptakan iklim belajar yang kondusif, (g) berinteraksi secara bijak dengan peserta didiknya, (h) menilai hasil pembelajaran, dan (i) dapat mengadministrasikan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Selain itu, dengan memahami Psikologi Pendidikan para guru juga dapat memahami dan mengembangkan diri-pribadinya untuk menjadi seorang guru yang efektif dan patut diteladani.
Penguasaan guru tentang psikologi pendidikan merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru, yakni kompetensi pedagogik. Muhibbin Syah (2003) mengatakan bahwa diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai guru dan calon guru adalah pengetahuan psikologi terapan yang erat kaitannya dengan proses belajar mengajar peserta didik.

Perilaku Individu

Salah satu tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan perilaku peserta didiknya. Dalam hal ini, Abin Syamsuddin Makmun (2003) menyebutkan bahwa tugas guru antara lain sebagai pengubah perilaku peserta didik (behavioral changes). Oleh karena itu itu, agar perilaku peserta didik dapat berkembang optimal, tentu saja seorang guru seyogyanya dapat memahami tentang bagaimana proses dan mekanisme terbentuknya perilaku para peserta didiknya. Untuk memahami perilaku individu dapat dilihat dari dua pendekatan, yang saling bertolak belakang, yaitu: (1) behaviorisme dan (2) holistik atau humanisme. Kedua pendekatan ini memiliki implikasi yang luas terhadap proses pendidikan, baik untuk kepentingan pembelajaran, pengelolaan kelas, pembimbingan serta berbagai kegiatan pendidikan lainnya. Di bawah ini akan diuraikan mekanisme pembentukan perilaku dilihat dari kedua pendekatan tersebut dengan merujuk pada tulisan Abin Syamsuddin Makmun (2003).
      1. Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Behaviorisme
Behaviorisme memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan mengkondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam lingkungan. Behaviorisme menjelaskan mekanisme proses terjadi dan berlangsungnya perilaku individu dapat digambarkan dalam bagan berikut :

S = stimulus (rangsangan); R = Respons (perilaku, aktivitas) dan O=organisme (individu/manusia).
Karena stimulus datang dari lingkungan (W = world) dan R juga ditujukan kepadanya, maka mekanisme terjadi dan berlangsungnya dapat dilengkapkan seperti tampak dalam bagan berikut ini :

Yang dimaksud dengan lingkungan (W = world) di sini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu :
    1. Lingkungan objektif (umgebung=segala sesuatu yang ada di sekitar individu dan secara potensial dapat melahirkan S).
    2. Lingkungan efektif (umwelt=segala sesuatu yang aktual merangsang organisme karena sesuai dengan pribadinya sehingga menimbulkan kesadaran tertentu pada diri organisme dan ia meresponsnya)
Perilaku yang berlangsung seperti dilukiskan dalam bagan di atas biasa disebut dengan perilaku spontan.
Contoh : seorang mahasiswa sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan kelas yang terasa panas, secara spontan mahasiswa tersebut mengipas-ngipaskan buku untuk meredam kegerahannya.
Ruangan kelas yang panas merupakan lingkungan (W) dan menjadi stimulus (S) bagi mahasiswa tersebut (O), secara spontan mengipaskan-ngipaskan buku merupakan respons (R) yang dilakukan mahasiswa. Merasakan ruangan tidak terasa gerah (W) setelah mengipas-ngipaskan buku.
Sedangkan perilaku sadar dapat digambarkan sebagai berikut:


Contoh : ketika sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan kelas yang terasa agak gelap karena waktu sudah sore hari ditambah cuaca mendung, ada seorang mahasiswa yang sadar kemudian dia berjalan ke depan dan meminta ijin kepada dosen untuk menyalakan lampu neon yang ada di ruangan kelas, sehingga di kelas terasa terang dan mahasiswa lebih nyaman dalam mengikuti perkuliahan.
Ruangan kelas yang gelap, waktu sore hari, dan cuaca mendung merupakan lingkungan (W), ada mahasiswa yang sadar akan keadaan di sekelilingnya (Ow), --meski di ruangan kelas terdapat banyak mahasiswa namun mereka mungkin tidak menyadari terhadap keadaan sekelilingnya--. berjalan ke depan, meminta ijin ke dosen, dan menyalakan lampu merupakan respons yang dilakukan oleh mahasiswa yang sadar tersebut (R), suasana kelas menjadi terang dan mahasiswa menjadi lebih menyaman dalam mengikuti perkuliahan merupakan (W).
Sebenarnya, masih ada dua unsur penting lainnya dalam diri setiap individu yang mempengaruhi efektivitas mekanisme proses perilaku yaitu receptors (panca indera sebagai alat penerima stimulus) dan effectors (syaraf, otot dan sebagainya yang merupakan pelaksana gerak R).
Selengkapnya mekanisme perilaku sadar dapat digambarkan sebagai berikut :




Dengan mengambil contoh perilaku sadar tadi, bagan di atas dapat dijelaskan bahwa mahasiswa yang sadar (Ow) mungkin merasakan penglihatannya (receptor) menjadi tidak jelas, sehingga tulisan dosen di papan tulis tidak terbaca dengan baik. Menggerakkan kaki menuju ke depan, mengucapkan minta izin kepada dosen, tangan menekan saklar lampu merupakan effector.
      1. Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Holistik (Humanisme)
Holistik atau humanisme memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang berarti aspek-aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu untuk melahirkan suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan. Holistik atau humanisme menjelaskan mekanisme perilaku individu dalam konteks what (apa), how (bagaimana), dan why (mengapa). What (apa) menunjukkan kepada tujuan (goals/incentives/ purpose) apa yang hendak dicapai dengan perilaku itu. How (bagaimana) menunjukkan kepada jenis dan bentuk cara mencapai tujuan (goals/incentives/pupose), yakni perilakunya itu sendiri. Sedangkan why (mengapa) menunjukkan kepada motivasi yang menggerakan terjadinya dan berlangsungnya perilaku (how), baik bersumber dari diri individu itu sendiri (motivasi instrinsk) maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Secara skematik rangkaian, proses dan mekanisme terjadinya perilaku menurut pandangan Holistik, dapat dijelaskan dalam bagan berikut :





Berdasarkan bagan di atas tampak bahwa terjadinya perilaku individu diawali dari adanya kebutuhan. Setiap individu, demi mempertahankan kelangsungan dan meningkatkan kualitas hidupnya, akan merasakan adanya kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam dirinya. Dalam hal ini, Maslow mengungkapkan jenis-jenis kebutuhan-individu secara hierarkis, yaitu: (1) kebutuhan fisiologikal, seperti : sandang, pangan dan papan; (2) kebutuhan keamanan, tidak dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan kasih sayang atau penerimaan; (4) kebutuhan prestise atau harga diri, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. Tingkatan kebutuhan tersebut dapat diragakan seperti tampak dalam gambar berikut ini :





Sementara itu, Stranger (Nana Syaodih Sukmadinata,2005) mengetengahkan empat jenis kebutuhan individu, yaitu:
  1. Kebutuhan berprestasi (need for achievement), yaitu kebutuhan untuk berkompetisi, baik dengan dirinya atau dengan orang lain dalam mencapai prestasi yang tertinggi.
  2. Kebutuhan berkuasa (need for power), yaitu kebutuhan untuk mencari dan memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap orang lain.
  3. Kebutuhan untuk membentuk ikatan (need for affiliation), yaitu kebutuhan untuk mengikat diri dalam kelompok, membentuk keluarga, organisasi ataupun persahabatan.
  4. Kebutuhan takut akan kegagalan (need for fear of failure), yaitu kebutuhan untuk menghindar diri dari kegagalan atau sesuatu yang menghambat perkembangannya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi dorongan (motivasi) yang merupakan kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Jika kebutuhan yang serupa muncul kembali maka pola mekanisme perilaku itu akan dilakukan pengulangan (sterotype behavior), sehingga membentuk suatu siklus, yang dapat digambarkan sebagai berikut :







Berkaitan dengan motif individu, untuk keperluan studi psikologis, motif individu dapat dikelompokkan ke dalam 2 golongan, yaitu :
  1. Motif primer (basic motive dan emergency motive); menunjukkan kepada motif yang tidak pelajari, dikenal dengan istilah drive, seperti : dorongan untuk makan, minum, melarikan diri, menyerang, menyelamatkan diri dan sejenisnya.
  2. Motif sekunder; menunjukkan kepada motif yang berkembang dalam individu karena pengalaman dan dipelajari, seperti : takut yang dipelajari, motif-motif sosial (ingin diterima, konformitas dan sebagainya), motif-motif obyektif dan interest (eksplorasi, manipulasi. minat), maksud dan aspirasi serta motif berprestasi.
Untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari indikator-indikatornya, yaitu : (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Dalam diri individu akan didapati sekian banyak motif yang mengarah kepada tujuan tertentu. Dengan beragamnya motif yang terdapat dalam individu, adakalanya individu harus berhadapan dengan motif yang saling bertentangan atau biasa disebut konflik.
Bentuk-bentuk konflik tersebut diantaranya adalah :
  1. Approach-approach conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat, dikehendaki serta bersifat positif.
  2. Avoidance-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat namun tidak dikehendaki dan bersifat negatif.
  3. Approach-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih, yang satu positif dan dikehendaki dan yang lainnya motif negatif serta tidak dikehendaki namun sama kuatnya.
Jika seorang individu dihadapkan pada bentuk-bentuk motif seperti dikemukakan di atas tentunya dia akan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dan sangat mungkin menjadi perang batin yang berkepanjangan.
Dalam pandangan holistik, disebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam dirinya, setiap aktivitas yang dilakukan individu akan mengarah pada tujuan tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan, tercapai atau tidak tercapai tujuan tersebut. Jika tercapai tentunya individu merasa puas dan memperoleh keseimbangan diri (homeostatis). Namun sebaliknya, jika tujuan tersebut tidak tercapai dan kebutuhannya tidak terpenuhi maka dia akan kecewa atau dalam psikologi disebut frustrasi. Reaksi individu terhadap frustrasi akan beragam bentuk perilakunya, bergantung kepada akal sehatnya (reasoning, inteligensi). Jika akal sehatnya berani mengahadapi kenyataan maka dia akan lebih dapat menyesuaikan diri secara sehat dan rasional (well adjustment). Namun, jika akal sehatnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, perilakunya lebih dikendalikan oleh sifat emosinalnya, maka dia akan mengalami penyesuaian diri yang keliru (maladjusment).
Bentuk perilaku salah suai (maldjustment), diantaranya : (1) agresi marah; (2) kecemasan tak berdaya; (3) regresi (kemunduran perilaku); (4) fiksasi; (5) represi (menekan perasaan); (6) rasionalisasi (mencari alasan); (7) proyeksi (melemparkan kesalahan kepada lingkungan); (8) sublimasi (menyalurkan hasrat dorongan pada obyek yang sejenis); (9) kompensasi (menutupi kegagalan atau kelemahan dengan sukses di bidang lain); (10) berfantasi (dalam angan-angannya, seakan-akan ia dapat mencapai tujuan yang didambakannya).
Di sinilah peran guru untuk sedapat mungkin membantu para peserta didiknya agar terhindar dari konflik yang berkepanjangan dan rasa frustasi yang dapat menimbulkan perilaku salah-suai. Sekaligus juga dapat memberikan bimbingan untuk mengatasinya apabila peserta didik mengalami konflik yang berkepanjangan dan frustrasi.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan contoh terbentuknya perilaku berdasarkan pendekatan holistik.
Contoh 1 :
Karena gagal mengikuti mengikuti testing pada salah satu Fakultas di Perguruan Tinggi ternama melalui jalur UMPTN (frustration), dan setelah mempertimbangkan segala sesuatunya (moralitas), secara sukarela Arjuna memutuskan untuk melanjutkan pada salah program studi yang ada di FKIP UNIKU (sublimasi).
Ketika mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan yang merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diikuti para mahasiswa, sejak awal dia sudah menyadari bahwa dia kekurangan pengetahuan, sikap dan keterampilannya dalam bidang Psikologi Pendidikan sehingga dia menyadari Psikologi Pendidikan merupakan kebutuhan bagi dirinya (need felt) dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya (goals/incentives).
Untuk tujuan jangka pendeknya, dengan berbekal kesadaran diri bahwa dia memiliki potensi dalam bidang psikologi pendidikan, dia berharap dapat memperoleh kemampuan baru berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan psikologi pendidikan, yang diperolehnya dari setiap pertemuan tatap muka dengan dosen.
Tujuan jangka menengah, pada akhir semester dia berharap lulus mata kuliah Psikologi Pendidikan dengan mendapatkan nilai A (kebutuhan harga diri). Selain itu, nanti pada saat mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL), dia berharap dapat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai untuk jangka panjang, dia benar-benar berharap dapat menjadi guru yang efektif dan kompeten.
Keinginan dan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam bidang psikologi pendidikan, memperoleh kesuksesan belajar dengan mendapatkan nilai A, memperoleh kesuksesan dalam mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL), keinginan menjadi guru yang efektif dan kompeten kemudian berkembang menjadi dorongan yang kuat dalam dirinya (motivasi intrinsik)
Pada saat mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan dia senantiasa aktif bertanya dan mengemukakan pendapatnya tentang materi yang disampaikan, membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan yang diwajibkan dan dianjurkan oleh dosen. Setiap tugas yang diberikan diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu. Dia juga sangat menyukai diskusi tentang psikologi pendidikan dengan teman-temannya di luar kelas (perilaku instrumental).
Berkat aktivitas dan kesungguhannya dalam mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia memperoleh pengetahuan yang luas, sikap yang positif dan memiliki keterampilan yang bisa dibanggakan dalam menerapkan prinsip-prinsip psikologi. Pada akhir semester, dia memperoleh nilai terbaik di kelasnya, pada saat PPL dia termasuk mahasiswa praktikan yang disukai oleh peserta didiknya, bahkan kepala sekolahnya meminta dia untuk menjadi guru di sekolah menjadi tempat prakteknya.
Setelah dia selesai kuliah dia menjadi guru di sebuah sekolah, para peserta didik sangat menyenangi dia karena dia sangat dekat dan akrab dengan peserta didiknya. Begitu juga, rekan-rekan seprofesinya sangat hormat dan kagum atas kinerjanya sebagai guru. Pada saat mengikuti lomba pemilihan guru berprestasi tingkat kabupaten, dia berhasil meraih sebagai juara pertama.
Dia sangat mensyukuri atas segala keberhasilannya, baik ketika selama menjadi mahasiswa maupun setelah menjadi guru (homeostatis). Bagi dirinya, Perkuliahan Psikologi Pendidikan telah mendasari dia menjadi seorang yang sukses.
Contoh 2 :
Astrajingga rekan seangkatan Arjuna. Dia bercita-cita menjadi seorang ekonom, karena gagal mengikuti mengikuti testing pada Fakultas Ekonomi di Perguruan Tinggi ternama melalui jalur UMPTN (frustration), kemudian dia dipaksa orang tuanya untuk melanjutkan pada salah satu program studi di FKIP UNIKU (motivasi ekstrinsik/substitusi), sehingga selama kuliah, dia belum menemukan apa tujuan kuliahnya.
Dia tidak begitu berminat mengikuti perkuliahan mata kuliah kependidikan, termasuk mata kuliah Psikologi Pendidikan (kurang merasakan adanya kebutuhan dan kekurangan motivasi). Pikirannya selalu terganggu bahwa seolah-olah dia sedang kuliah pada Fakutas Ekonomi di Perguruan Tinggi yang diidam-idamkannya dan dia merasa seolah-olah bakal menjadi Ekonom (fantasi). Dia sering tidak masuk kuliah, sekalipun dia masuk kuliah hanya sebatas takut dimarahi oleh dosen yang bersangkutan dan takut dinyatakan tidak lulus (kebutuhan rasa aman). Tugas-tugas yang diberikan dosen pun jarang dikerjakan, kalaupun dikerjakan hanya alakadarnya dan selalu telat disetorkan. Dia dihadapkan pada perang batin antara terus melanjutkan studi yang tidak sesuai dengan cita-citanya atau keluar dari kuliah dengan resiko orang tua akan marah besar terhadap dirinya (conflict).
Selama satu semester mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia hanya memperoleh sebagian kecil saja pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan dan pada akhirnya dia dinyatakan tidak lulus dan terpaksa harus mengikuti remedial. Sambil menangis (regresi), dia menyalahkan dosen bahwa dosennya tidak becus mengajar (proyeksi).

Taksonomi Perilaku Individu

Kalau perilaku individu mencakup segala pernyataan hidup, betapa banyak kata yang harus dipergunakan untuk mendeskripsikannya. Untuk keperluan studi tentang perilaku kiranya perlu ada sistematika pengelompokan berdasarkan kerangka berfikir tertentu (taksonomi).Dalam konteks pendidikan, Bloom mengungkapkan tiga kawasan (domain) perilaku individu beserta sub kawasan dari masing-masing kawasan, yakni :
  1. Kawasan Kognitif; yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar.
    1. Pengetahuan (knowledge);
Pengetahuan merupakan aspek kognitif yang paling rendah tetapi paling mendasar. Dengan pengetahuan individu dapat mengenal dan mengingat kembali suatu objek, ide prosedur, konsep, definisi, nama, peristiwa, tahun, daftar, rumus, teori, atau kesimpulan. Dilihat dari objek yang diketahui (isi) pengetahuan dapat digolongkan sebagai berikut :
            1. Mengetahui sesuatu secara khusus; terdiri dari :
              • Mengetahui terminologi yaitu berhubungan dengan mengenal atau mengingat kembali istilah atau konsep tertentu yang dinyatakan dalam bentuk simbol, baik berbentuk verbal maupun non verbal.
              • Mengetahui fakta tertentu yaitu mengenal atau mengingat kembali tanggal, peristiwa, orang tempat, sumber informasi, kejadian masa lalu, kebudayaan masyarakat tertentu, dan ciri-ciri yang tampak dari keadaan alam tertentu.
            2. Mengetahui tentang cara untuk memproses atau melakukan sesuatu.
  • Mengetahui kebiasaan atau cara mengetengahkan ide atau pengalaman
  • Mengetahui urutan dan kecenderungan yaitu proses, arah dan gerakan suatu gejala atau fenomena pada waktu yang berkaitan.
  • Mengetahui penggolongan atau pengkategorisasian. Mengetahui kelas, kelompok, perangkat atau susunan yang digunakan di dalam bidang tertentu, atau memproses sesuatu.
  • Mengetahui kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi fakta, prinsip, pendapat atau perlakuan.
  • Mengetahui metodologi, yaitu perangkat cara yang digunakan untuk mencari, menemukan atau menyelesaikan masalah.
  • Mengetahui hal-hal yang universal dan abstrak dalam bidang tertentu, yaitu ide, bagan dan pola yang digunakan untuk mengorganisasi suatu fenomena atau pikiran.
  • Mengetahui prinsip dan generalisasi
  • Mengetahui teori dan struktur.
    1. Pemahaman (comprehension)
Pemahaman atau dapat dijuga disebut dengan istilah mengerti merupakan kegiatan mental intelektual yang mengorganisasikan materi yang telah diketahui. Temuan-temuan yang didapat dari mengetahui seperti definisi, informasi, peristiwa, fakta disusun kembali dalam struktur kognitif yang ada. Temuan-temuan ini diakomodasikan dan kemudian berasimilasi dengan struktur kognitif yang ada, sehingga membentuk struktur kognitif baru. Tingkatan dalam pemahaman ini meliputi :
  1. translasi yaitu mengubah simbol tertentu menjadi simbol lain tanpa perubahan makna. Misalkan simbol dalam bentuk kata-kata diubah menjadi gambar, bagan atau grafik;
  2. interpretasi yaitu menjelaskan makna yang terdapat dalam simbol, baik dalam bentuk simbol verbal maupun non verbal. Seseorang dapat dikatakan telah dapat menginterpretasikan tentang suatu konsep atau prinsip tertentu jika dia telah mampu membedakan, memperbandingkan atau mempertentangkannya dengan sesuatu yang lain. Contoh sesesorang dapat dikatakan telah mengerti konsep tentang “motivasi kerja” dan dia telah dapat membedakannya dengan konsep tentang ”motivasi belajar”; dan
  3. Ekstrapolasi; yaitu melihat kecenderungan, arah atau kelanjutan dari suatu temuan. Misalnya, kepada siswa dihadapkan rangkaian bilangan 2, 3, 5, 7, 11, dengan kemapuan ekstrapolasinya tentu dia akan mengatakan bilangan ke-6 adalah 13 dan ke-7 adalah 19. Untuk bisa seperti itu, terlebih dahulu dicari prinsip apa yang bekerja diantara kelima bilangan itu. Jika ditemukan bahwa kelima bilangan tersebut adalah urutan bilangan prima, maka kelanjutannnya dapat dinyatakan berdasarkan prinsip tersebut.
    1. Penerapan (application)
Menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah atau menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang dikatakan menguasai kemampuan ini jika ia dapat memberi contoh, menggunakan, mengklasifikasikan, memanfaatkan, menyelesaikan dan mengidentifikasi hal-hal yang sama. Contoh, dulu ketika pertama kali diperkenalkan kereta api kepada petani di Amerika, mereka berusaha untuk memberi nama yang cocok bagi alat angkutan tersebut. Satu-satunya alat transportasi yang sudah dikenal pada waktu itu adalah kuda. Bagi mereka, ingat kuda ingat transportasi. Dengan pemahaman demikian, maka mereka memberi nama pada kereta api tersebut dengan iron horse (kuda besi). Hal ini menunjukkan bagaimana mereka menerapkan konsep terhadap sebuah temuan baru.
    1. Penguraian (analysis);
Menentukan bagian-bagian dari suatu masalah dan menunjukkan hubungan antar-bagian tersebut, melihat penyebab-penyebab dari suatu peristiwa atau memberi argumen-argumen yang menyokong suatu pernyataan.
Secara rinci Bloom mengemukakan tiga jenis kemampuan analisis, yaitu :
  1. Menganalisis unsur :
  • Kemampuan melihat asumsi-asumsi yang tidak dinyatakan secara eksplisit pada suatu pernyataan
  • Kemampuan untuk membedakan fakta dengan hipotesa.
  • Kemampuan untuk membedakan pernyataan faktual dengan pernyataan normatif.
  • Kemampuan untuk mengidentifikasi motif-motif dan membedakan mekanisme perilaku antara individu dan kelompok.
  • Kemampuan untuk memisahkan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang mendukungnya.
  1. Menganalisis hubungan
  • Kemampuan untuk melihat secara komprehensif interrelasi antar ide dengan ide.
  • Kemampuan untuk mengenal unsur-unsur khusus yang membenarkan suatu pernyataan.
  • Kemampuan untuk mengenal fakta atau asumsi yang esensial yang mendasari suatu pendapat atau tesis atau argumen-argumen yang mendukungnya.
  • Kemampuan untuk memastikan konsistensinya hipotesis dengan informasi atau asumsi yang ada.
  • Kemampuan untuk menganalisis hubungan di antara pernyataan dan argumen guna membedakan mana pernyataan yang relevan mana yang tidak.
  • Kemampuan untuk mendeteksi hal-hal yang tidak logis di dalam suatu argumen.
  • Kemampuan untuk mengenal hubungan kausal dan unsur-unsur yang penting dan yang tidak penting di dalam perhitungan historis.




  1. Menganalisis prinsip-prinsip organisasi
    • Kemampuan untuk menguraikan antara bahan dan alat
    • Kemampuan untuk mengenal bentuk dan pola karya seni dalam rangka memahami maknanya.
    • Kemampuan untuk mengetahui maksud dari pengarang suatu karya tulis, sudut pandang atau ciri berfikirnya dan perasaan yang dapat diperoleh dalam karyanya.
    • Kemampuan untuk melihat teknik yang digunakan dalam meyusun suatu materi yang bersifat persuasif seperti advertensi dan propaganda.
    1. Memadukan (synthesis)
Menggabungkan, meramu, atau merangkai berbagai informasi menjadi satu kesimpulan atau menjadi suatu hal yang baru. Kemampuan berfikir induktif dan konvergen merupakan ciri kemampuan ini. Contoh: memilih nada dan irama dan kemudian manggabungkannya sehingga menjadi gubahan musik yang baru, memberi nama yang sesuai bagi suatu temuan baru, menciptakan logo organisasi.
    1. Penilaian (evaluation)
Mempertimbangkan, menilai dan mengambil keputusan benar-salah, baik-buruk, atau bermanfaat – tak bermanfaat berdasarkan kriteria-kriteria tertentu baik kualitatif maupun kuantitatif. Terdapat dua kriteria pembenaran yang digunakan, yaitu :
  1. Pembenaran berdasarkan kriteria internal; yang dilakukan dengan memperhatikan konsistensi atau kecermatan susunan secara logis unsur-unsur yang ada di dalam objek yang diamati.
  2. Pembenaran berdasarkan kriteria eksternal; yang dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang bersumber di luar objek yang diamati., misalnya kesesuaiannya dengan aspirasi umum atau kecocokannya dengan kebutuhan pemakai.
  1. Kawasan Afektif; yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya.
    1. Penerimaan (receiving/attending)
Kawasan penerimaan diperinci ke dalam tiga tahap, yaitu :
  1. Kesiapan untuk menerima (awareness), yaitu adanya kesiapan untuk berinteraksi dengan stimulus (fenomena atau objek yang akan dipelajari), yang ditandai dengan kehadiran dan usaha untuk memberi perhatian pada stimulus yang bersangkutan.
  2. Kemauan untuk menerima (willingness to receive), yaitu usaha untuk mengalokasikan perhatian pada stimulus yang bersangkutan.
  3. Mengkhususkan perhatian (controlled or selected attention). Mungkin perhatian itu hanya tertuju pada warna, suara atau kata-kata tertentu saja.
    1. Sambutan (responding)
Mengadakan aksi terhadap stimulus, yang meliputi proses sebagai berikut :
  1. Kesiapan menanggapi (acquiescene of responding). Contoh : mengajukan pertanyaan, menempelkan gambar dari tokoh yang disenangi pada tembok kamar yang bersangkutan, atau mentaati peraturan lalu lintas.
  2. Kemauan menanggapi (willingness to respond), yaitu usaha untuk melihat hal-hal khusus di dalam bagian yang diperhatikan. Misalnya pada desain atau warna saja.
  3. Kepuasan menanggapi (satisfaction in response), yaitu adanya aksi atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha untuk memuaskan keinginan mengetahui. Contoh kegiatan yang tampak dari kepuasan menanggapi ini adalah bertanya, membuat coretan atau gambar, memotret dari objek yang menjadi pusat perhatiannya, dan sebagainya.
    1. Penghargaan (valuing)
Pada tahap ini sudah mulai timbul proses internalisasi untuk memiliki dan menghayati nilai dari stimulus yang dihadapi. Penilaian terbagi atas empat tahap sebagai berikut :
  1. Menerima nilai (acceptance of value), yaitu kelanjutan dari usaha memuaskan diri untuk menanggapi secara lebih intensif.
  2. Menyeleksi nilai yang lebih disenangi (preference for a value) yang dinyatakan dalam usaha untuk mencari contoh yang dapat memuaskan perilaku menikmati, misalnya lukisan yang memiliki yang memuaskan.
  3. Komitmen yaitu kesetujuan terhadap suatu nilai dengan alasan-alasan tertentu yang muncul dari rangkaian pengalaman. Komitmen ini dinyatakan dengan rasa senang, kagum, terpesona. Kagum atas keberanian seseorang, menunjukkan komitmen terhadap nilai keberanian yang dihargainya.
    1. Pengorganisasian (organization)
Pada tahap ini yang bersangkutan tidak hanya menginternalisasi satu nilai tertentu seperti pada tahap komitmen, tetapi mulai melihat beberapa nilai yang relevan untuk disusun menjadi satu sistem nilai. Proses ini terjadi dalam dua tahapan, yakni :
  1. Konseptualisasi nilai, yaitu keinginan untuk menilai hasil karya orang lain, atau menemukan asumsi-asumsi yang mendasari suatu moral atau kebiasaan.
  2. Pengorganisasian sistem nilai, yaitu menyusun perangkat nilai dalam suatu sistem berdasarkan tingkat preferensinya. Dalam sistem nilai ini yang bersangkutan menempatkan nilai yang paling disukai pada tingkat yang amat penting, menyusul kemudian nilai yang dirasakan agak penting, dan seterusnya menurut urutan kepentingan.atau kesenangan dari diri yang bersangkutan.

    1. Karakterisasi (characterization).
Karakterisasi yaitu kemampuan untuk menghayati atau mempribadikan sistem nilai Kalau pada tahap pengorganisasian di atas sistem nilai sudah dapat disusun, maka susunan itu belum konsisten di dalam diri yang bersangkutan. Artinya mudah berubah-ubah sesuai situasi yang dihadapi. Pada tahap karakterisasi, sistem itu selalu konsisten. Proses ini terdiri atas dua tahap, yaitu :
  1. Generalisasi, yaitu kemampuan untuk melihat suatu masalah dari suatu sudut pandang tertentu.
  2. Karakterisasi, yaitu mengembangkan pandangan hidup tertentu yang memberi corak tersendiri pada kepribadian diri yang bersangkutan.
  1. Kawasan Psikomotor; yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari : (a) kesiapan (set); (b) peniruan (imitation); (c) membiasakan (habitual); (d) menyesuaikan (adaptation) dan (e) menciptakan (origination)
        1. Kesiapan yaitu berhubungan dengan kesediaan untuk melatih diri tentang keterampilan tertentu yang dinyatakan dengan usaha untuk melaporkan kehadirannya, mempersiapkan alat, menyesuaikan diri dengan situasi, menjawab pertanyaan.
        2. Meniru adalah kemampuan untuk melakukan sesuai dengan contoh yang diamatinya walaupun belum mengerti hakikat atau makna dari keterampilan itu. Seperti anak yang baru belajar bahasa meniru kata-kata orang tanpa mengerti artinya.
        3. Membiasakan yaitu seseorang dapat melakukan suatu keterampilan tanpa harus melihat contoh, sekalipun ia belum dapat mengubah polanya.
        4. Adaptasi yaitu seseorang sudah mampu melakukan modifikasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan atau situasi tempat keterampilan itu dilaksanakan.
        5. Menciptakan (origination) di mana seseorang sudah mampu menciptakan sendiri suatu karya.
Sementara itu, Abin Syamsuddin Makmun( 2003) memerinci sub kawasan ini dengan tahapan yang berbeda, yaitu :
  1. Gerakan refleks (reflex movements). Basis semua perilaku bergerak atau respons terhadap stimulus tanpa sadar, misalnya : melompat, menunduk, berjalan, dan sebagainya.
  2. Gerakan dasar biasa (Basic fundamental movements) yaitu gerakan yang muncul tanpa latihan tapi dapat diperhalus melalui praktik, yang terpola dan dapat ditebak.
  3. Gerakan Persepsi (Perceptual abilities) yaitu gerakan sudah lebih meningkat karena dibantu kemampuan perseptual.
  4. Gerakan fisik (Physical Abilities) yaitu gerakan yang menunjukkan daya tahan (endurance), kekuatan (strength), kelenturan (flexibility) dan kegesitan.
  5. Gerakan terampil (skilled movements) yaitu dapat mengontrol berbagai tingkatan gerak secara terampil, tangkas, dan cekatan dalam melakukan gerakan yang sulit dan rumit (kompleks).
  6. Gerakan indah dan kreatif (Non-discursive communication) yaitu mengkomunikasikan perasan melalui gerakan, baik dalam bentuk gerak estetik: gerakan-gerakan terampil yang efisien dan indah maupun gerak kreatif: gerakan-gerakan pada tingkat tertinggi untuk mengkomunikasikan peran.

Peranan dan Pengaruh Pendidikan terhadap Perubahan dan Perkembangan Perilaku

Pendidikan memang sejak zaman dahulu kala menjadi salah satu bentuk usaha manusia dalam rangka mempertahankan keberlangsungan eksistensi kehidupan maupun budaya manusia itu sendiri.
Bagi kalangan behaviorisme, pendidikan dipahami sebagai sebagai alat pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan keterampilan. Sementara kalangan humanisme, pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, atau sebagai wahana untuk memanusiakan manusia, serta wahana untuk pembebasan manusia.
Penyelenggaraan pendidikan selanjutnya menjadi kewajiban kemanusiaan dalam rangka mempertahankan kehidupannya. Melihat begitu pentingnya pendidikan bagi umat manusia, banyak peradaban manusia yang “mewajibkan” masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan.
Yang menjadi persoalan, sejauhmanakah pendidikan dapat mempengaruhi perubahan dan perkembangan perilaku individu. Bagaimana pula kontribusi individu itu sendiri terhadap perubahan dan perkembangan perilakunya.
Dengan menggunakan konsep dasar psikologis, khususnya dalam pandangan behaviorisme, pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha conditioning (penciptaan seperangkat stimulus) yang diharapkan dapat menghasilkan pola-pola perilaku (seperangkat respons) tertentu, yang dimanifestasikan dalam bentuk perubahan dan perkembangan perilaku, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Seberapa besar tingkat atau derajat perubahan dan perkembangan perilaku yang dicapai melalui usaha – usaha conditioning dikenal dengan istilah prestasi belajar atau hasil belajar (achievement).Dengan demikian, menurut pandangan behaviorisme, arah dan kualifikasi perubahan dan perkembangan perilaku akan sangat bergantung pada faktor S (conditioning).
Sementara itu, dalam pandangan humanisme bahwa justru organisme atau individu itu sendiri yang memegang peranan penting dalam suatu proses belajar atau proses pendidikannya. Pada dasarnya individu sejak lahir sudah dibekali potensi-potensi tertentu, terutama potensi intelektual, selanjutnya dengan bantuan atau tanpa bantuan orang lain, individu yang bersangkutan berupaya aktif mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya melalui interaksi dengan lingkungannya, termasuk lingkungan sekolah. Sehingga potensi yang semula masih bersifat laten (terpendam) dapat diaktualisasikan menjadi prestasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar